Rabu, 27 Mei 2015

Indonesia Peringkat 12 Negara Pembajak Software

 [Unpad.ac.id, 28/10] Penegakan hukum hak cipta di Indonesia masih mengalami berbagai kendala. Hal tersebut disebabkan masih banyaknya berbagai kondisi dilematis di lapangan. Oleh karena itu, walaupun Undang-Undang Hak Cipta telah ada sejak tahun 2002, tapi hingga tahun 2008 lalu, Indonesia masih tercatat pada peringkat ke-12 negara dengan angka pembajakan tertinggi untuk software berdasarkan hasil survei dari International Data Corporation (IDC) mengenai Global Software Piracy Study 2008 sebesar 85%.


Hal tersebut terungkap pada Seminar Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual, yang diselenggarakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual  (HKI) Unpad bekerja sama dengan Departemen Hukum dan HAM RI dan Business Software Alliance (BSA). Acara tersebut berlangsung di Executive Lounge Gedung Baru Rektorat Unpad lantai 2, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Rabu (28/10).
Menurut Direktur Kerja Sama Direktorat Jenderal HKI, Dr. Anshori Sinungan, SH., LLM., setidaknya ada lima kondisi dilematis yang mempengaruhi penegakan hukum hak cipta tersebut. Pertama, pada dimensi budaya, masyarakat Indonesia yang menganut budaya timur, justru lebih senang bila produknya dipakai atau ditiru oleh negara lain. Hal tersebut, menyebabkan ketidakseimbangan antara kepemilikan hak individu dan masyarakat.
Kedua, penegakan hukum ini juga terkendala masalah sosial. Banyaknya razia VCD bajakan menyebabkan masalah sosial kepada para pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya dari berjualan VCD bajakan. Ketiga, mahalnya harga barang asli saat ini tidak sesuai dengan daya beli masyarakat Indonesia yang masih rendah. Walaupun harga barang asli sudah ada yang versi murah, tapi harga barang bajakan masih lebih murah. Hal tersebut menyebabkan masyarakat masih lebih memilih menggunakan barang bajakan.
Keempat, adanya perbedaan persepsi atau pemahaman bagi para penegak hukum berkaitan dengan kasus-kasus pelanggaran hak cipta. Kondisi ini seringkali menimbulkan masalah saat dilakukan penyidikan atau pada proses peradilan. Kelima, terbatasnya anggaran, sarana dan prasarana, aparat penegak hukum dan juga kesadaran masyarakat. Saat ini di Indonesia, pemasukan Dirjen HKI dari urusan hak cipta ini disetor ke kas negara. “Padahal lembaga serupa di Jepang, pemasukan yang mereka dapatkan tersebut, sepenuhnya digunakan untuk kepentingan pengelolaan dan pengurusan masalah HKI ini,” jelas Dr. Anshori.
Menanggapi hal tersebut, perwakilan BSA untuk Indonesia, Donny A. Sheyoputra, S.H., LL.M., mengatakan bahwa pihaknya yang merupakan organisasi nirlaba, senantiasa mendukung dan mempromosikan pertumbuhan industri piranti lunak di berbagai negara melalui berbagai upaya. Upaya tersebut antara lain melalui kebijakan publik internasional, penegakkan hukum dan program-program pendidikan.
“Pelanggaran hak cipta terutama pembajakan  software di Indonesia memang sulit dibendung. Biarpun sudah banyak yang harganya murah, yang open source, tetapi tetap sajasoftware bajakan masih sangat diminati,” jelas Donny.
Menurutnya, pembajakan tersebut sangat merugikan banyak hal. Contohnya, pembajakan dapat menghancurkan industri software lokal, merugikan distributor software lokal yang tidak mampu bersaing sehat dengan distributor software bajakan. “Untuk konsumen sendiri, hal ini akan berisiko terkena virus dan tanpa jaminan kualitas yang memadai dari produsen,” jelas Donny.
Tidak hanya itu, pembajakan juga merugikan perusahaan pembuat software yang karyanya dibajak, mengurangi gairah investasi dan gairah kreasi. “Secara keseluruhan, pembajakan merugikan ekonomi suatu negara dari sektor pajak, tenaga kerja dan sebagainya,” lanjut Donny.
Padahal, lanjut Donny, menurut sebuah penelitian IDC terbaru bertajuk “The Economic Benefits of Lowering PC Software Piracy”, terungkap bahwa jika Indonesia berhasil mengurangi angka pembajakan sebesar 10% dalam empat tahun ke depan, maka akan mendapat tambahan 2.200 lapangan kerja baru di sektor teknologi industri, memberi kontribusi sebesar US$ 1,7 miliar terhadap PDB/GDP. Selain itu akan meningkatkan pendapatan vendor lokal sebesar US$1 miliar dan pendapatan pajak sebesar US$ 88 juta.

Menanggapi hal tersebut, Hakim Tinggi dari Pengadilan Tinggi Bandung, R. Henry Silaen yang hadir sebagai pembahas, menjelaskan bahwa berdasarkan pengalamannya selama ini, pemahaman dari penegak hukum berkaitan dengan pelanggaran hak cipta, khususnya dalam kasus-kasus pembajakan ini memang masih menjadi kendala. “Untuk itu, perlu adanya bantuan keterangan ahli sehingga bisa memberikan masukan-masukan tentang dakwaan-dakwaan yang perlu disidangkan,” jelasnya. (eh)*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar