[Unpad.ac.id, 28/10] Penegakan hukum hak cipta
di Indonesia masih mengalami berbagai kendala. Hal tersebut disebabkan masih
banyaknya berbagai kondisi dilematis di lapangan. Oleh karena itu, walaupun
Undang-Undang Hak Cipta telah ada sejak tahun 2002, tapi hingga tahun 2008
lalu, Indonesia masih tercatat pada peringkat ke-12 negara dengan angka
pembajakan tertinggi untuk software berdasarkan
hasil survei dari International Data Corporation (IDC) mengenai Global Software Piracy Study
2008 sebesar 85%.
Hal tersebut terungkap
pada Seminar Penegakan Hukum Hak Kekayaan Intelektual, yang diselenggarakan
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Unpad bekerja sama dengan Departemen Hukum dan HAM RI dan Business Software Alliance (BSA). Acara tersebut berlangsung di
Executive Lounge Gedung Baru Rektorat Unpad lantai 2, Jln. Dipati Ukur No. 35
Bandung, Rabu (28/10).
Menurut Direktur Kerja
Sama Direktorat Jenderal HKI, Dr. Anshori Sinungan, SH., LLM., setidaknya ada
lima kondisi dilematis yang mempengaruhi penegakan hukum hak cipta tersebut.
Pertama, pada dimensi budaya, masyarakat Indonesia yang menganut budaya timur,
justru lebih senang bila produknya dipakai atau ditiru oleh negara lain. Hal
tersebut, menyebabkan ketidakseimbangan antara kepemilikan hak individu dan
masyarakat.
Kedua, penegakan hukum ini
juga terkendala masalah sosial. Banyaknya razia VCD bajakan menyebabkan masalah
sosial kepada para pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya dari berjualan
VCD bajakan. Ketiga, mahalnya harga barang asli saat ini tidak sesuai dengan
daya beli masyarakat Indonesia yang masih rendah. Walaupun harga barang asli
sudah ada yang versi murah, tapi harga barang bajakan masih lebih murah. Hal
tersebut menyebabkan masyarakat masih lebih memilih menggunakan barang bajakan.
Keempat, adanya perbedaan
persepsi atau pemahaman bagi para penegak hukum berkaitan dengan kasus-kasus
pelanggaran hak cipta. Kondisi ini seringkali menimbulkan masalah saat
dilakukan penyidikan atau pada proses peradilan. Kelima, terbatasnya anggaran,
sarana dan prasarana, aparat penegak hukum dan juga kesadaran masyarakat. Saat
ini di Indonesia, pemasukan Dirjen HKI dari urusan hak cipta ini disetor ke kas
negara. “Padahal lembaga serupa di Jepang, pemasukan yang mereka dapatkan
tersebut, sepenuhnya digunakan untuk kepentingan pengelolaan dan pengurusan
masalah HKI ini,” jelas Dr. Anshori.
Menanggapi hal tersebut,
perwakilan BSA untuk Indonesia, Donny A. Sheyoputra, S.H., LL.M., mengatakan
bahwa pihaknya yang merupakan organisasi nirlaba, senantiasa mendukung dan
mempromosikan pertumbuhan industri piranti lunak di berbagai negara melalui
berbagai upaya. Upaya tersebut antara lain melalui kebijakan publik
internasional, penegakkan hukum dan program-program pendidikan.
“Pelanggaran hak cipta
terutama pembajakan software di Indonesia memang sulit dibendung. Biarpun
sudah banyak yang harganya murah, yang open source, tetapi tetap sajasoftware bajakan
masih sangat diminati,” jelas Donny.
Menurutnya, pembajakan
tersebut sangat merugikan banyak hal. Contohnya, pembajakan dapat menghancurkan
industri software lokal, merugikan distributor software lokal yang tidak mampu bersaing sehat
dengan distributor software bajakan.
“Untuk konsumen sendiri, hal ini akan berisiko terkena virus dan tanpa jaminan
kualitas yang memadai dari produsen,” jelas Donny.
Tidak hanya itu,
pembajakan juga merugikan perusahaan pembuat software yang karyanya dibajak,
mengurangi gairah investasi dan gairah kreasi. “Secara keseluruhan, pembajakan
merugikan ekonomi suatu negara dari sektor pajak, tenaga kerja dan sebagainya,”
lanjut Donny.
Padahal, lanjut Donny,
menurut sebuah penelitian IDC terbaru bertajuk “The Economic Benefits of Lowering
PC Software Piracy”, terungkap bahwa jika Indonesia berhasil
mengurangi angka pembajakan sebesar 10% dalam empat tahun ke depan, maka akan
mendapat tambahan 2.200 lapangan kerja baru di sektor teknologi industri,
memberi kontribusi sebesar US$ 1,7 miliar terhadap PDB/GDP. Selain itu akan
meningkatkan pendapatan vendor lokal sebesar US$1 miliar dan pendapatan pajak
sebesar US$ 88 juta.
Menanggapi hal tersebut,
Hakim Tinggi dari Pengadilan Tinggi Bandung, R. Henry Silaen yang hadir sebagai
pembahas, menjelaskan bahwa berdasarkan pengalamannya selama ini, pemahaman
dari penegak hukum berkaitan dengan pelanggaran hak cipta, khususnya dalam
kasus-kasus pembajakan ini memang masih menjadi kendala. “Untuk itu, perlu
adanya bantuan keterangan ahli sehingga bisa memberikan masukan-masukan tentang
dakwaan-dakwaan yang perlu disidangkan,” jelasnya. (eh)*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar